Langsung ke konten utama

Postingan

Birthday Blues

Untuk diri yang mencintai kata-kata, hidup diantara yang tidak mampu membaca adalah sebuah kesialan yang menjadi candu. Kamu tau itu menyesakkan, tapi kamu selalu suka menantang diri sendiri sambil bilang, 'i can handle this'. Mengutip sebuah judul lagu minang yang gak sengaja mengalun saat menuliskan ini, "Kadang antahlah tapi baalah" Sekali waktu ada momen lelah banget. Banyak kalimat-kalimat sudah dituliskan tapi kemudian urung diungkapkan. Belum dirilis saja, sudah terbayang reaksi dari orang-orang yang tak mampu membaca. 'Jangan curhat di sosmed, gak baik' 'Jangan cengeng, mengeluh tidak membuat semua jadi selesai' 'Apasih lebay banget. Gitu aja sedih' 'Banyak yang lebih susah dari itu' Lalu akhirnya kalimat-kalimat jadi terpangkas. Kata-kata mulai banyak yang hilang. Lalu lagu Minang lainnya yang tengah mengalun di akhir tulisan ini, 'Mandi ka lubuak mandalian Udang disangko tali tali Mabuak untuang jo parasaian Patang disangk
Postingan terbaru

Zia, pekerjaan dan teman.

Tampaknya satu-satunya alasan Zia masih bersosialisasi dan berhubungan dengan orang-orang ditempat kerja adalah bu Siska. Karena masih ada bu Siska. Karena masih punya tempat kembali untuk berkeluh kesah atau sekedar membahas kejadian bersama orang-orang diluar sana. Karena masih ada sosok yang setipikal dan sama, maka apapun yang kita bahas akan mendatangkan pemahaman yang sama tanpa perlu effort lebih untuk menjelaskan terlalu detail. Atau dalam bahasa singkatnya : hubungan mode hemat energi. Jadi bukan masalah besar harus menghadapi orang-orang diluar sana karena toh masih ada tempat untuk recharge energi karena rasa lelah setelahnya. Namun tentu perasaan yakin yang aku tulis diatas baru terasa saat sampai waktunya kita berpisah. Terdengar egois karena seperti Zia kehilangan tempat recharge energi nya, terbaca seperti ini hanya rasa sedih sepihak yang dipaksakan. Entah apa bu Sis merasakan hal yang sama. Semoga apapun yang terjadi diluar sana akan menjadi hal-hal baik untuk bu Sis d

Ketidakwarasan padaku

Tampaknya hidup sebercanda itu. Lihat, sekian tahun berlalu dan kini kondisi itu kembali. Namun kita bertukar peran. Tolong, jangan gila dulu. Meski mbak pernah melewatinya, tapi tidak cukupkah itu terjadi satu kali saja? Haruskah kita mengulang fase itu lagi?

Sulung

Aku harus banyak bersyukur karena Allah titipkan Mas sebagai suami, sebagai teman berbagi segalanya sepanjang usia pernikahan. Aku disini, berada jauh dari Kinasih untuk sejenak. Kembali ke Bandung, bukan dalam rangka menyelesaikan dan menenangkan diri. Namun kembali sebagai yang berusaha menguatkan, tengah menjulurkan tangan sebagai penopang, tengah merendahkan punggung sebagai tempat berpijak adikku yang nyaris tenggelam. Sejujurnya aku lelah. Bertemu adik pun aku bingung harus mulai bicara darimana. Aku sudah membuat reka adegan, puluhan kondisi, namun tak satupun yang menemui akhir. Aku tak tau apakah langkahku benar.  Rasanya ingin berteriak kencang, aku ini hanya anak perempuan pertama. Akupun tak mengerti dan tak tau bagaimana caranya menyelesaikan semua masalah. Apa semua masalah harus aku lalui? Apa semua hal harus aku selesaikan? Tidak bisakah sesekali aku hanya menjadi penonton saja? Tidak bisakah aku melewatkan beberapa hal? Haruskah aku bertanggungjawab atas segala sesuatu

Langit runtuh (3)

Semenjak malam itu, waktu berlalu tak pernah lagi sama Aku memang mulai berjalan pagi Dari semula hanya satu putaran Kini menjadi dua putaran Namun kali ini, pandangku lebih sering mendongak Bukan karena sombong ataupun angkuh Namun menggenangkan air mata sesaat lebih lama. Sebelum akhirnya jatuh membasahi pipi Setiap hela nafas rasanya jadi lebih berat Ada beban di dada yang mengganjal Meski aku mulai mengurai satu satu permasalahan Meski aku telah menerima semua masalah ini Meski aku telah sadar sepenuhnya bahwa ini harus dijalani Dan nanti setelah ini selesai, aku tak lagi sama seperti aku saat ini Meski semua itu aku sadari Tapi menjalani ini benar-benar ya Allah.. Aku lelah.

Langit runtuh (2)

"Aku gabisa tidur seharian" kata Mas saat aku pulang kerja. Mestinya mas harus tidur, agar punya cukup tenaga untuk kerja di shift malam. "Aku nangis seharian" jawabku menanggapi pernyataannya. Kami hanya berdua. Aku mati-matian berusaha untuk kuat demi Mas. Sebagai sesama anak sulung, aku memahami rasa sakitnya. Sakit hingga ke tulang-tulang. Kami terbiasa keras pada diri sendiri, mengupayakan segala hal agar adik yang kami sayang tak perlu membangun semua jalannya dari awal.  Kami terbiasa mengarahkan dan cenderung memaksakan semua penyebab masalah kepada diri sendiri. Kami belokkan semua arah anak panah agar menancap dalam ke hati kami. Biar adik tak perlu merasakan hal itu. Cukup mereka tau hal-hal rasional dan logis saja. Perihal emosional, psikologis, biar hati kami yang paling dulu. Kami selalu keras, bicara sedikit, cenderung tampak tak hangat dan tak teraih, agar seluruh rasa hangat dan kasih tumpah dan tertuju untuk adik. Biar kami yang keras, biar kami ya

Langit Runtuh

Dalam 3th 2bulan pernikahan kami, 3 kali aku lihat mas menangis karena masalah. Bukan tangis bahagia seperti yang ia susut saat mendampingi aku bersalin. Sekali saat aku tengah hamil besar, kami berencana ikut bazzar, menanam modal ditengah kondisi keungan yang pas-pasan, qadarullah covid melanda dan bazzar ditiadakan. Uang terendam, gajian masih jauh, perutku besar. Mas menangis dalam usahanya ingin mencari tambahan uang untuk persiapan si kecil lahir. Aku memeluknya, menenangkan dan berusaha tertawa. Mengatakan hal biasa awal berdagang dapat kejutan. Kali kedua, saat gadis kecil kami menjelang 40hari. Kuterima panggilan tak terjawab hingga 72kali dari Papa. Lantas saat kutelp kembali, runtuhlah langitku saat itu. Kabar datang, aku terisak lemas. Entah mana yang perlu kuselamatkan, mental mama, fisik papa, atau harga diriku dihadapan keluarga suami, saat itu ibu mertuaku tengah bersama kami selepas aku lahiran. Semuanya hancur. Aku menangis. Mas memelukku, dia ikut menangis bersamaku.