Langsung ke konten utama

Teori Efisiensi

Belakangan kudapati beberapa waktu emosional yang terlewati, fase dimana kita nyaris tidak berkomunikasi padahal saling tau kalau punya cukup waktu untuk sekedar bertukar sapa, mampu menjadikanku untuk belajar meredam gejolak kekesalan yang membuncah. Mengeluarkannya perlahan hingga akhirnya mampu kembali menjadi baik-baik saja. Benar pulalah adanya, masalah, ketika kamu mampu menghadapinya akan membuatmu lebih dewasa.

Lalu izinkan aku mengupas sedikit cara pandang baru (baru karena baru kutemukan, bisa jadi banyak orang diluar sana sudah lama memahami ini) mengenai teori efisiensi yang sempat dijelaskan oleh seorang perempuan, senior supervisor produksi di perusahaan tempatku belajar (aku memilih melihatnya sebagai tempat belajar alih-alih tempat bekerja) saat ini.

Siang itu, dengan tuntutan harus mampu mengimbangi trainee lain yang sudah lebih lama, aku diberikan kesempatan belajar langsung dari SSPV Produksi. Setelah diberikan penjelasan singkat sembari duduk sebelahan di meja beliau, kami langsung bertandang ke area produksi. Berjalan disepanjang jalur hijau, beliau menjelaskan berbagai komponen dan proses produksi. Bolak-balik mengitari area yang luasnya kurasa menyamai luas lapangan sepakbola. Sepanjang jalan, tiap kali tidak sengaja papasan dengan operator produksi, beliau menyapa menyebut nama, tersipu sambil satu dua gemetar keliatannya mereka mendengar gelegar suara ibu ini. Hal pertama yang membuatku takjub, mulai dari operator paling awal ada di perusahaan hingga anak magang yang baru masuk kemarin sore, beliau tau namanya. Tidak cukup sampai disitu, alamat rumah hingga gosip teranyar mereka pun tak luput dari pembahasan ibu ini. Jadilah perjalanan mengitari area produksi yang semula kutaksir paling lama hanya akan menghabiskan waktu 1-2jam kami selesaikan lebih lama dari itu. Bersyukurnya, tepat disaat kaki ku yang tidak terbiasa diajak olahraga ini mulai nyeri serasa akan berpisah tempurungnya, ibu SSPV menepi dari jalur hijau. Sedikit menopangkan badan yang tidak gemulai bak gitar spanyol, memandang tajam ke arah conveyor yang berjalan, dimulailah pembicaraan yang membuka cakrawala baru bagiku.

"kamu tau bagaimana cara menghitung efisiensi?"

(percayalah aku menjawab ini dengan suara gemetar) "hmm secara umum output per input bu.."

"menurut kamu bagaimana cara meningkatkan efisiensi?"

(karena kurasa aku tidak mendengar nada bahwa jawabanku sebelumnya salah, aku mulai menjawab pertanyaan ini dengan lebih tenang) "meningkatkan outputnya bu. Misal, yang awalnya kita produksi Cuma bisa 5, sekarang bisa 8."

"baik. Jika kita menghasilkan 10 dengan input 5 lalu menghasilkan 100 dengan input 5, menurut kamu yang mana yang efisien?"

(aku menjawab ini dengan terlalu yakin) "yang output 100 bu"

"nah, belum tentu yang 100 yang efisien."

(karena mulai mendengar nada bahwa jawaban super yakin ku ternyata salah, aku mulai berpikir, bagaimana mungkin ibu ini menyalahkan hitungan kasar ku?) "loh, kenapa bisa gitu bu?"

"begini, awalnya pada saat kita bisa menghasilkan 10 itu artinya kita sudah memenuhi seluruh permintaan customer. Lalu ketika kita memproduksi 100 bisa saja meskipun secara kuantitas output jauh lebih banyak yang dihasilkan, tapi secara efisiensi itu menjadi dipermasalahkan. Kenapa? Karena kembali pada perjanjian awal, yang sudah fix adalah jumlah output yang harus dijual kepada customer, yaitu 10. Artinya ketika kita produksi 100 bahkan 1000 sekalipun, uang yang akan dibayar customer tetap hanya yang 10. Lalu sisanya yang 900 bagaimana? Sia-sia kan? Siapa yang mau bayar?"

(aku diam sejenak sebelum menganggukkan kepala pertanda mencerna arah pembicaraan ibu ini) "jadi, yang 10 itu yang lebih efisien bu?" tanyaku ragu-ragu.

"belum juga z. Kalau ternyata dengan input 5 kita bisa menghasilkan 100, sedangkan yang kita butuh harus dicapai hanya 10, menurut kamu apa yang harus kita lakukan untuk meningkatkan efisiensi?"

(masih dengan keraguan aku menjawab ini) "hmm mengurangi input nya bu?"

"iya, benar. Jadi yang ingin saya sampaikan, efisiensi itu variabelnya dua, input dan output. Maka untuk menaikkan nilai efisiensi pun tidak melulu hanya soal meningkatkan salah satu variabelnya, terkadang untuk kondisi tertentu, mengurangi justru bisa meningkatkan efisiensi tadi."

(aku diam, masih bepikir bagaimana hitungan matematika nya. Oke, aku terlihat sok jago matematika padahal waktu SMA sering banget remedial dan selalu bergantung sama mbak Je dan Uji waktu ngerjain tugas dari Pak i -_-")

"nah, gemba hari ini segini dulu ya Zi. Semangat trainingnya, nanti kalau butuh apa-apa hubungi saya lagi aja, atau kalau saya sibuk ke SPV produksi yang lain. Sampai ketemu 8 bulan lagi ya?"

"terimakasih bu." Aku dengan mantap menyambut uluran tangan ibu SSPV, bersalaman dan belum beranjak hingga beliau hilang diantara mesin-mesin dan juntaian sirkuit.

Beberapa waktu setelahnya, percayalah bahwa aku takjub sendiri. Takjub dengan bagaimana Allah memberikan ilmu secara perlahan dan bertahap, bagaimana Allah memberikan kemampuan kepada hambaNya untuk merangkai setiap momen-momen hingga menemukan hikmah yang ingin Allah sampaikan.

Hal selanjutnya ini terjadi saat aku dan seorang sahabat lama yang sempat hilang sejenak, kembali bercerita. Bermula dari membahas tulisan Merdeka (ini link nya https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=473670156345924&id=100011088303442) lalu dia menanyakan bagaimana tanggapanku. Aku rasa, sedikit banyak nya aku menangkap maksudnya menanyakan perihal tulisan itu, lalu pelan-pelan aku mencoba menyodorkan sudut pandang baru bagi ku. Aku merespon begini,

"…. Disepanjang kalimat itu, yang paling kusepakati adalah bagian, profesi penuh passion dan suka-cita. Bagiku, hingga saat ini profesi penuh passion untukku adalah profesi yang memungkinkan aku untuk belajar banyaaaak banget. Mendapatkan inspirasi dan menjadi inspirasi. Apakah itu di perusahaan swasta, startup bisnis, berdagang, atau bahkan guru TK, karena menurut ku itu semua hanya sebatas nama instansi. Sebatas lokasi. Selama bekerja di instansi memenuhi hasrat ingin belajar dan menginspirasi, bagiku itu hal yang luar biasa. Masalah terikat waktu dan hidup sebatas gaji dari bulan ke bulan, ketika itu mampu mengakomodir passion ku dalam belajar, aku tidak lagi melihat pekerjaan sebagai sebuah rutinitas. Jam kerja adalah waktu yang aku sisihkan untuk menekuni hobi ku belajar tentang suatu hal, gaji adalah bonus dari hobi ku. Libur adalah  saatnya menambah hobi baru atau mengerjakan hobi lainnya. Pun sama jika bukan dengan intansi, as long as it can fulfill hasratku untuk belajar, mendapat inspirasi dan menjadi inspirasi bagi orang lain, nama bukanlah hal masalah. Kita selalu bisa memunculkan sudut pandang baru yang ingin kita lihat dari setiap hal tanpa harus takut kalau sudut pandang itu tidak umum, karena tidak umum bukan berati tidak ada."

Lalu dia akhirnya mengutarakan mengapa dia paling sepakat dengan 3 paragraf terakhir dari tulisan Merdeka itu. Dia memberi contoh salah seorang teman kami, Dewi Permata yang tengah menekuni bisnis bersama suaminya dan memberikan banyak manfaat bagi orang-orang disekitarnya. Lalu dia mengutarakan,

"aku tidak mengerti kenapa, tapi belakangan ku rasa, pekerjaan hanyalah pekerjaan. Hanya hal yang dilakukan berulang. Ibaratnya, aku sudah menyiapkan keranjang ilmu 100 tapi ternyata yang aku bawa pulang hanyalah 10. itu kenapa aku mulai mempertimbangkan tiga paragraf tulisan diatas."

Aku tersenyum, seketika terlintas obrolan mengenai teori efisiensi yang membuka cakrawala baru untukku. Lalu perlahan aku menemukan cara pandang baru lagi secara tidak sengaja lewat kalimat sahabat ini. Nah dari sini lah asal muasal teori keranjang, improvement dari teori efisiensi mulai kami telusuri bersama.

"bagaimana jika aku menawarkan sudut pandang baru?" tanyaku memancing rasa antusiasnya.

"coba, ceritakan. Pelan-pelan ya.."

"sebelumnya aku mau tanya, yang mana yang ingin kamu fix kan? Yang ingin pasti untuk kamu capai?"

"ilmunya. 100 ilmu misalnya"

"baik. Katakanlah, kamu mau membawa pulang 100 ilmu. Kamu sudah menyiapkan keranjangnya, akan tetapi kamu merasa, ketika sudah pulang dan sampai dirumah, yang kamu bawa hanyalah 10 ilmu. Apakah kamu pernah mengecek kapasitas keranjangmu? Barangkali ternyata keranjangmulah yang terlalu besar. Barangkali kapasitas keranjangmu ternyata 1000, sehingga saat isinya sudah 100 kamu masih merasa yang kamu dapat adalah 10. Kenapa tidak mencoba untuk mengecilkan keranjangnya?"

"eh bagaimana? Aku tidak paham, bukankah aku seharusnya mempersiapkan keranjang ilmu yang jauh lebih besar lagi?"

Lalu aku menceritakan teori efisiensi seperti yang kutulis diatas. Dan melanjutkan lagi,

"aku sepakat dengan pilihan kamu untuk, seharusnya malah memperbesar keranjang. Kalau begitu, karena tujuan kita adalah efisiensinya, bagaimana jika kita menambahkan satu lagi variabelnya. Variabel syukur. Variabel yang menggenapkan isi keranjang tadi, sekaligus variabel yang tidak akan kita kurangi bagaimanapun kondisinya, tapi kita genapkan dan menjadi penyesuainya."

"maksudnya? Pelan-pelan…"

"kembali lagi pada kapasitas keranjangmu yang 1000, lalu ilmu yang kamu bawa pulang 100, maka sisa 900 adalah jatah untuk syukur. Maka syukurlah yang menggenapkan semua usaha dan hasil yang kita dapatkan, hingga bagaimanapun variabel lainnya, bagaimanapun morat-marit input dan outputnya, efisiensinya tetap tercapai. Ketika keranjang 1000 kamu membawa pulang ilmu 100 maka syukurmu 900, ketika kamu punya keranjang untuk 1 ilmu saja dan ilmu yang kamu siap tampung adalah 100 maka syukurmu sedang diuji. Bukankah ujian bukan hanya perihal kesulitan namun juga berupa nikmat? Bagaimana jika dengan kapasitas keranjang yang hanya muat 1 ilmu, kamu memasukkan 1/10 ilmu kedalamnya dan sisa nya adalah syukur? Atau bagaimana jika seluruhnya isi keranjang adalah syukur? Bukankah dengan semakin kita bersyukur maka Allah akan semakin memampukan kita? Bukan tidak mungkin saat kita bersyukur, ternyata kita diberi jalan untuk memperbesar kapasitas keranjang tadi, hingga akhirnya mampu membawa ilmu lebih banyak lagi dalam waktu yang lebih efisien lagi."

"dengar, seluruhnya, ini adalah berupa pendapatku saja ya. In my humble opinion, aku belum tentu sudah baik tapi ini adalah pemikiran yang terlintas dan aku gusar jika tidak menyampaikannya.." lanjutku.

"aku hanya ingin lebih bermanfaat. Ya seperti teman kita itu.." sahutnya lagi.

"hmm menurutmu, bermanfaat itu seperti apa?" tanyaku hati-hati.

"yaa begitu, ketika kita bisa memberi bantuan ke orang lain. Ketika keberadaan kita meringankan bagi orang lain" terangnya.

"hmm, sekali lagi, aku ingin memberikan sisi pandang yang lain, mau dengar?" pancingku

"okay, bagaimana?"

"belakangan aku berfikir bahwa bermanfaat pun bisa dilihat dari dua sisi berbeda tapi sama, yaitu perihal memberi. Aku sepakat jika menurutmu bermanfaat adalah saat hadirnya kita bisa berguna bagi orang lain. Itu artinya kita sedang dalam proses memberikan. Memberikan dalam arti sebenarnya dan memberikan kesempatan disaat kita sendiri tengah kurang."

"aku tidak mengerti. Bukankah bermanfaat itu ketika kita punya sesuatu yang bisa kita berikan ke orang lain? Yang meringankan beban mereka?"

"iya benar, itu sisi pertama bermanfaat. Lalu sisi keduanya adalah ketika kita kurang. Misalnya ketika kamu bilang di awal-awal masuk kerja kamu banyak gatau dan banyak nanya ke partner kerja kamu, nah disaat itu pun kamu sebenernya tengah menjadi manfaat. Kamu bermanfaat karena ketidaktahuan mu itu merupakan sarana ibadah partner kerja mu dalam mengajari kamu. Sederhana nya gini deh, ketika kamu punya uang kamu bersedekah, nah itu kamu bermanfaat dengan kelebihan yang kamu punya, kamu membantu orang lain, maka kamu berguna bagi orang lain. Lalu kamu sedang kesulitan, butuh bantuan dan ada orang lain yang membantu, itu artinya kamu bermanfaat juga. Karena kamu sedang kesulitan, orang lain bisa bantu, itu artinya kamu berguna kan bagi mereka? Coba kalau kamu tidak kesulitan, mereka jadi gabisa bantu kamu"

"jadi sudut pandang lainnya adalah, aku berguna karena kekuranganku bisa menjadi sarana bagi orang lain untuk beribadah?" tanyamu meyakinkan.

"yap, begitu. Imho yaaaaa inimah…"

Setelah diselingi dengan obrolan lainnya, percakapan 4jam itu kami paksakan untuk selesai. Ku rasa, jika tidak begitu sampai shubuh pun masih tidak akan habis topik pembicaraan.


Terakhir penutup tentang ibu SSPV yang mulai ku kagumi kemachoannya itu,  kudengar kabar berseliweran, beliau adalah perempuan yang disegani karena bertaji dan bernyali. Beliau mengurusi seluruh proses produksi yang berjalan, sekian puluh conveyor, sekian supervisor dan ratusan (bahkan ribuan) operator produksi.

Postingan populer dari blog ini

ala Chef

Hi! Akhirnya update blog lagi. Btw, hari ini masak. Yah biasa sih, kalau dirumah emang harus masak sendiri, karena Mama kerja, pulangnya baru sore, jadi kalau mau makan sesuatu yang masih anget ya masak sendiri. Nanti z ceritain masak apa hari ini. jari luka Tadi waktu masak ada drama! darah di cangkang telor Jadi tadi mau motong jeruk nipis, karena masaknya di toko dan gak ada talenan (alas buat motong) jadi sok-sok an motong sambil megang jeruk nipisnya, terus yah alih-alih motong jeruk nipis malah motong jari telunjuk ^^ Langsung berdarah. Sebenernya luka nya gak begitu dalam, tapi Z  biasanya kalau luka, darahnya susah berhenti. Padahal papa udah bilang, motongnya di meja aja, dialas pakai plastik. Nanti luka jarinya. Dan kejadian. Karena malu, meskipun perih langsung ditutup pakai tissue. Masih sok-sok an gamau bilang, udah ngabisin dua tissue penuh darah segar dan darahnya sampai tumpah ke cangkang telor, terus dialirin air yang banyak banget, tetep aja darahnya

tak pernah ada kata terlambat untuk sebuah kado

baru pulang nganterin biank -my blue notebook- ke customer service nya di gatsu tadi. ditemenin sama murobbiah yang baik hati. nyampe dikosan langsung mendadak mellow. belum berapa jam, kosan udah jadi sepi bangeet tanpa biank , ini aja ngeblog pake laptop nya Geu :'( selama seminggu gabisa liat biank, gabisa nonton, gabisa donlod running man dan barefoot friends, gabisa denger playlist gabisa ngerjain paper opa dan gabisa gabisa lainnya. sedih banget, tapi gapapa demi kesehatan biank kedepannya. really miss my lovely biank {} .  kado tampak depan tadi murobbiah yang baik hati ngasih kado ulangtahun, yang udah disiapin lebih dari sebulan yang lalu. tapi karena kitanya jarang banget ketemu akhir akhir ini jadi kado manis itu belum sempat berpindah tangan. dan kado nya lucuuu, jadi sedihh *loh* kertas kado nya sampe udah lecek banget saking udah lama nya tergeletak pasrah di mobil. tapi tentu ga ngurangin esensi ukhuwahnya dan absolutely esensi isi kadonya, tetep cantiik. yip

Zia, pekerjaan dan teman.

Tampaknya satu-satunya alasan Zia masih bersosialisasi dan berhubungan dengan orang-orang ditempat kerja adalah bu Siska. Karena masih ada bu Siska. Karena masih punya tempat kembali untuk berkeluh kesah atau sekedar membahas kejadian bersama orang-orang diluar sana. Karena masih ada sosok yang setipikal dan sama, maka apapun yang kita bahas akan mendatangkan pemahaman yang sama tanpa perlu effort lebih untuk menjelaskan terlalu detail. Atau dalam bahasa singkatnya : hubungan mode hemat energi. Jadi bukan masalah besar harus menghadapi orang-orang diluar sana karena toh masih ada tempat untuk recharge energi karena rasa lelah setelahnya. Namun tentu perasaan yakin yang aku tulis diatas baru terasa saat sampai waktunya kita berpisah. Terdengar egois karena seperti Zia kehilangan tempat recharge energi nya, terbaca seperti ini hanya rasa sedih sepihak yang dipaksakan. Entah apa bu Sis merasakan hal yang sama. Semoga apapun yang terjadi diluar sana akan menjadi hal-hal baik untuk bu Sis d