disini, di Bandung selepas maghrib sudah mulai ramai kumandang takbir mengudara dari mesjid-mesjid disekitaran kosan. saling sahut menyahut. indah sekali.
esok, tidak sampai hitungan angka 24jam semua umat Islam berkumpul, menggelar sajadah dilapis koran atau tikar bersama-sama. membawa Ayah, Ibu, Adik, Kakak, Nenek, Kakek, Paman ataupun Bibi. tidak sedikit yang bergerombol ke lapangan ataupun masjid bersama rekan sejawat. rumah-rumah sudah mulai sibuk. kaca-kaca dibersihkan, permadani digelar. Ibu dan anak gadisnya sibuk bolak-balik ke dapur, menanak nasi, merebus ketupat. Ayah dan anak bujangnya, amboi tak kalah sibuknya. mengecek sela-sela dinding memastikan tak ada lagi sarang laba-laba bertengger manis, sibuk mengetes deru mesin motor atau mobil, memastikan isi tangki minyaknya tersedia untuk dipakai besok bertandang kerumah sanak-saudara. hari-hari yang lalu? Ibu dengan segala cara terbaik penawarannya telah membeli persediaan bumbu dapur yang akan digunakan esok untuk merebus daging-daging kurban. tak lupa mengecek tusuk sate dan alat pemanggang. Ayah, tak lupa menelpon sanak-saudara. mengabsen satu satu dimana keberadaan mereka, pukul berapa akan kerumah ataukah akan langsung bertemu ditempat sholat. ada pula, muda-mudi yang sibuk mengontrol dering hp, sekedar melihat notification dari twitter, facebook, line atau whatsap. semua orang bersuka-ria, bergembira membagi ucapan "Selamat Idul Adha" atau berkelakar "siap-siap yang mau dipotong besok, makan yang banyak" dst. muda-mudi ini sibuk pula menyusun rencana besok akan bertandang kerumah siapa, janjian jalan kemana, atau membantu memotong kurban dimana. duhai syahdunya. ditengah sibuk muda-mudi dengan gadget mereka saat ini, yang segala sesuatu terasa mudah hanya dengan sentuhan, segerombol anak-anak TPA (taman pendidikan Al-quran), anak-anak madrasah, anak-anak mengaji, atau entah kau menyebut kelompok mereka ini apa, berduyun-duyun menyusuri jalan-jalan komplek. bersenandung -malah seringnya berteriak- mengumandangkan takbir keliling kampung. yang badannya besar mendorong gerobak mebawa bedug. yang masih kecil mengantongi kencrengan atau memukul botol-botol kaca. berima. duhai indahnya. lantas setiap kali melewati rumah seorang teman, akan dengan sibuk memanggil dan mengajak turut takbiran. seringnya para petinggi kampung, bapak RT/RW serta ibu-ibu komplek tersenyum dan memberi nasehat "jangan malam-malam pulangnya nak" "jangan lupa solat Isya ya.." atau "jangan main kejalan raya ya.."
begitu selalu, tradisi Idul Adha setiap tahun. adakah kau juga pernah merasakan hal yang sama?
ah ya, ada yang terlupa. belum sempat aku ceritakan.
diantara semua kelompok yang sibuk menyiapkan rumah, menyetrika baju yang akan dipakai besok, menanak nasi dan ketupat, memeriksa notifikasi handphone, ada sekelompok orang lagi yang hanya menikmati syahdu malam takbiran ini dengan diam. tidak sepenuhnya diam memang, mereka beraktifitas namun aktifitasnya tak terkait langsung dengan semarak Id.
mereka adalah sebagian mahasiswa rantau.
para pejuang ilmu ini, yang tak memungkinkan untuk kembali ke kampung halaman entah itu disebabkan keterbatasan waktu libur, keterbatasan ongkos pulang atau sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian tengah semester, berbeda lagi jenis aktifitasnya.
ada yang dengan takzim memutarkan takbir dari laptop didalam kamar kosan, bertandang ke kosan teman lain yang sama-sama tidak pulang, menonton tv (bagi yang punya) atau sekedar menonton drama di laptopnya. beberapa diantara mereka masih terlalu berat hatinya untuk menelpon kerumah. sedikit ada yang beralasan, "kasihan, kalau menelpon sekarang Bapak dan Ibuk lagi sibuk menyiapkan keperluan besok. takut terhambat kegiatannya kalau aku menelpon" atau "ga kuat nelpon. terlalu lemah untuk tidak menangis, maklum lebaran pertama tidak dirumah" (biasanya maba yang begini) "cukup sms saja, gak ada pulsa buat nelpon kerumah. beda operator sama hp orang rumah".
apapun itu alasan ngelesnya ada sebagian dari para pencari ilmu ini yang tengah bersedih. meskipun Idul Adha merupakan lebaran yang relatif lebih "kurang se-meriah" Idul Fitri, tetap saja kehilangan moment bersama dengan orang-orang terkasih itu menumbuhkan rindu yang mengakar. terlebih saat ada satu-dua sms dari Mama atau Papa yang bernada seperti ini "mbak, apa besok daging kurbannya dikasih ke om aja ya? takut sayang ih, gak kemakan. gak ada mbak dirumah kan" atau sms adik "mbak, inget gak waktu kita bikin sate? seru ya".
saat-saat seperti ini, kelompok pencari ilmu dirantau orang ini, yang berusaha meneguhkan hati dan prinsip menuntut ilmu hingga ke negri Cina , mulai goyah hatinya. sedikit banyak sedih mengalir berpacu dengan senandung takbir. Namun, hei! mereka yang ribuan bahkan ratusan kilometer jaraknya dari kehangatan rumah, yang terpisah laut dan pulau untuk mencapai rumah ini sejatinya tengah ber-qurban. tidak. tidak dengan seekor kambing ataupun sapi yang dibeli bersama-sama. mereka, sekelompok kecil makhluk ini tengah ber-qurban dengan hatinya. berqurban dengan keikhlasan akan kenangan yang tidak akan memunculkan wajah ataupun nama mereka terhadap hari esok, saat semua saudara berkumpul dengan Ayah dan Ibu. mereka berqurban dengan kerelaan tidak mencicipi sate, sop atau pun olahan daging kurban lainnya. meskipun pengorbanan kecilnya ini tidak pernah sampai seujung kuku perjuangan kaum papa, fakir dan miskin diluar sana, tapi toh mereka tengah memperjuangkan hatinya untuk ikhlas. bukankah makna Idul Adha itu sendiri adalah ikhlas?
meskipun ikhlasnya berbeda konsep dengan keikhlasan Nabi Ibrahim dan Ismail, mereka berusaha memperjuangkan tekad dan menjaga kobar semangat menuntut ilmu. berusaha keras menjaga lilin harapan"nanti, libur panjang ada kesempatan untuk pulang".
mereka bisa jadi tengah menjaga diri untuk bersabar. Memaknai Idul Adha ini dengan pemaknaannnya akan keikhlasan itu sendiri.
ini caraku melihat dari sudut pandang mereka.
Zia
14/10/13 19.34
*Idul Adha ke-3 dengan qurban (belajar) ikhlas*
Selamat Idul Adha, jangan lupa berbagi rezeki setiap saat :)
Komentar
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca ^O^