Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2023

Langit runtuh (3)

Semenjak malam itu, waktu berlalu tak pernah lagi sama Aku memang mulai berjalan pagi Dari semula hanya satu putaran Kini menjadi dua putaran Namun kali ini, pandangku lebih sering mendongak Bukan karena sombong ataupun angkuh Namun menggenangkan air mata sesaat lebih lama. Sebelum akhirnya jatuh membasahi pipi Setiap hela nafas rasanya jadi lebih berat Ada beban di dada yang mengganjal Meski aku mulai mengurai satu satu permasalahan Meski aku telah menerima semua masalah ini Meski aku telah sadar sepenuhnya bahwa ini harus dijalani Dan nanti setelah ini selesai, aku tak lagi sama seperti aku saat ini Meski semua itu aku sadari Tapi menjalani ini benar-benar ya Allah.. Aku lelah.

Langit runtuh (2)

"Aku gabisa tidur seharian" kata Mas saat aku pulang kerja. Mestinya mas harus tidur, agar punya cukup tenaga untuk kerja di shift malam. "Aku nangis seharian" jawabku menanggapi pernyataannya. Kami hanya berdua. Aku mati-matian berusaha untuk kuat demi Mas. Sebagai sesama anak sulung, aku memahami rasa sakitnya. Sakit hingga ke tulang-tulang. Kami terbiasa keras pada diri sendiri, mengupayakan segala hal agar adik yang kami sayang tak perlu membangun semua jalannya dari awal.  Kami terbiasa mengarahkan dan cenderung memaksakan semua penyebab masalah kepada diri sendiri. Kami belokkan semua arah anak panah agar menancap dalam ke hati kami. Biar adik tak perlu merasakan hal itu. Cukup mereka tau hal-hal rasional dan logis saja. Perihal emosional, psikologis, biar hati kami yang paling dulu. Kami selalu keras, bicara sedikit, cenderung tampak tak hangat dan tak teraih, agar seluruh rasa hangat dan kasih tumpah dan tertuju untuk adik. Biar kami yang keras, biar kami ya

Langit Runtuh

Dalam 3th 2bulan pernikahan kami, 3 kali aku lihat mas menangis karena masalah. Bukan tangis bahagia seperti yang ia susut saat mendampingi aku bersalin. Sekali saat aku tengah hamil besar, kami berencana ikut bazzar, menanam modal ditengah kondisi keungan yang pas-pasan, qadarullah covid melanda dan bazzar ditiadakan. Uang terendam, gajian masih jauh, perutku besar. Mas menangis dalam usahanya ingin mencari tambahan uang untuk persiapan si kecil lahir. Aku memeluknya, menenangkan dan berusaha tertawa. Mengatakan hal biasa awal berdagang dapat kejutan. Kali kedua, saat gadis kecil kami menjelang 40hari. Kuterima panggilan tak terjawab hingga 72kali dari Papa. Lantas saat kutelp kembali, runtuhlah langitku saat itu. Kabar datang, aku terisak lemas. Entah mana yang perlu kuselamatkan, mental mama, fisik papa, atau harga diriku dihadapan keluarga suami, saat itu ibu mertuaku tengah bersama kami selepas aku lahiran. Semuanya hancur. Aku menangis. Mas memelukku, dia ikut menangis bersamaku.