Ah, ampun.
Ternyata musim menyapaku lebih cepat. Tapi aku ingin menuntaskan dengan tepat. Maka mohon, biarkan aku mencuat.
Jadi, dia menyuratkan kesiapannya.
Kesiapannya untuk perempuan lain.
Bukan aku.
Teman lama disudut hari nya.
Seseorang yang seringkali menjadi lawan saingnya yang ternyata tidak seberapa
yang dulu selalu siap sedia telinga berjam-jam mendengar ceritanya, mimpi-mimpinya, keluh kesahnya.
yang-harus kuakui-selalu menerima perlakuan yang sama, dua bahkan empat kali lipatnya.
lalu, aku dengan bodohnya begitu cepat menamai hubungan kita
melabeli dengan tag yang dulu kurasa tepat, mengingat hatiku belum sepenuhnya seiya sepakat
maka, saat itu kurasa pagar bernama sahabat cukup untuk saling mengikat
dan yah, terbukti sudah, dua insan, adam dan hawa memang tidak pernah dicipta dengan dasar sahabat atau teman semata.
waktu mampu menggiring untuk lebih, pada ikatan yang suci atau menepi sebatas rekan, kawan seperjalanan menuju baka
aih, sudah.
barangkali karena lisan ku yang masih malu menyebut namamu dihela doa pada sujud panjangku, maka Allah siapkan kamu untuk dia yang mungkin pula sudah sibuk mengeja namamu. Dan akhirnya, Allah condongkan hatimu padanya.
Biar aku sejenak menarik waktu, mengencangkan pasak dan simpul, menguatkan hati. Menata pagar pada hubungan kita kedepannya. Sekali dua waktu, mungkin ketus terbalaskan pada akhir setiap obrolan, maka tolong maafkan. Perempuan begitu, kerapkali angkuh untuk ungkapkan namun sangat ingin untuk direngkuh diam-diam. Pahami saja, manatau nanti wanitamu seperti itu. Bertingkah, menunjukkan kerucut pada bibir nya, alih-alih senyum dengan mata segaris, yang kau dapati justru kerut dalam di dahi. Ah, tau apa aku tentang perempuan. Sedang isi hati sendiri, yang sudah sangat jelas terbaca oleh orang sekitar, tak mau untuk ku amin kan.
Berbahagialah sewajarnya, karena kedepan tentu rintangan banyak yang harus kau hadang. Merengkuh restu calon Ayah baru mu, hanya satu dari sekian. Menaklukkan hati calon Ibu dari anak-anakmu sekian besarnya lagi. Aku, tampaknya masih akan meminjam label “sahabat” sebagai dalih, untuk terus diam-diam mendoakan kehidupanmu. Hal yang dari dulu sudah kulakukan ulang-berulang. Mendoakan kehidupanmu tentu tidak sama dengan menghidupkan namamu di doaku kan? Aku masih terlalu malu untuk menghidupkan nama seseorang di hela doa, karena masih jauh dari kata pantas untuk meminta di datangkan, khawatir kalau-kalau Allah benar menyegerakan kedatangannya, sedang hati ku belum sepenuhnya sepakat memberi ruang untuk satu orang. Kontras memang, merasa cukup tanpa satu ruang, namun menyeka (meski sedikit) saat kau, yang pernah ku maktub kan sebagai tipikal yang akan kusebut dalam doa, menyuratkan untuk menyebut nama lain dalam doamu. Pelajarannya adalah, kereta tidak pernah menunggu lama.
Jadi, kutunggu kabar bahagia itu.
Ayo temanku lekas naik,
keretaku tak berhenti lama..
Komentar
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca ^O^