Apa zia punya teman?
Punya, kalau kata z mah. Tapi sedikiiit banget. Punya kenalan cukup banyak, kenalan dari jaman tk-kerja. Mungkin juga banyak orang yang menganggap z teman. Tapi untuk orang-orang yag benar-benar z masukkan ke list teman, sungguh sedikit.
Kenal bertahun-tahun belum tentu dia teman.
Kenapa teman z sedikit? Karena z pelit. Buat z punya teman itu ya harus diurusin. Disaat senang atau susah, sedih atau bahagia, sakit atau sehat, jauh ataupun dekat. Harus tetap di maintain. Dan z ga punya energi yang ga ada habisnya untuk ngurusin itu semua. Itu alasan kenapa yang z anggap teman sedikit.
Alasan lain nya, demi menjaga kewarasan diri. Punya teman banyak tuh berpotensi membuat z gak waras. Karena kepribadian z yang tidak suka konflik mengarahkan z ke perilaku mengalah, memendam banyak hal yang tidak z suka, hingga meng-ya udah-kan banyak hal supaya menghindari konflik, maka punya banyak teman dengan banyak pemikiran, banyak kepala, banyak excuse, tentu sangat berpotensi merusak kewarasan diri z yang sudah di ambang batas ini, kan?
Kalau gitu, hidup aja di hutan sana biar ga punya teman!
Huehehhehe 😅
Z masih makhluk sosial yang butuh orang lain kok. Butuh sebagai simbiosis mutualisme. Sedangkan buat berteman menurut z termasuk simbiosis komensalisme. Z akan dengan senang hati menyediakan apa-apa yang teman z butuhkan, tanpa memperhitungkan untung atau rugi untuk diri z sendiri.
Tapi perihal berbuat baik, z gak mikir apa dia teman z atau bukan. Berbuat baik ya berbuat baik aja. Berbuat baik itu semacam mengisi kembali energi z.
Z senang mengunjungi kenalan z yang sedang sakit. Z senang masak dan ngasih masakan z (selama hasilnya cocok untuk dimakan orang lain). Z senang kalau bisa membantu dan memberikan apa yang bisa z beri. Energi yang z dapat ketika memberi adalah, rasa senang dan bahagia dari orang yang menerima nya.
Diantara banyak hal yang bisa z beri, memberikan waktu dan telinga untuk mendengar keluh kesah dan curhatan, adalah satu-satu nya privilege khusus untuk yang z anggap teman. Memberikan waktu dan telinga itu artinya z benar-benar ada disaat teman z bercerita. Memberikan empati dan saran jika dirasa perlu. Lalu memasukkan setiap curhatan mereka ke ingatan z dan merefleksikannya ke kehidupan z. Itu privilege yang z berikan ke teman z yang sedikit.
Kalau hanya menjadi pendengar tanpa menghadirkan diri z seutuhnya di sesi mendengar itu, z bisa kasih ke siapapun juga. Tapi memasukkan diri z ke cerita mereka, itu yang z gabisa. Kenapa? Balik lagi ke perihal menjaga kewarasan diri. Nanti z benar-benar ga waras kalau ngikutin dan dengerin semua curhatan keluh kesah orang lain 😅
Lalu siapa teman z?
Z rasa, mereka akan tau dengan sendirinya. Dari cara z memperlakukan mereka. Pasti beda. Meski kita tidak bertemu setiap hari, tidak rutin berbagi kabar, tapi z bisa tau kapan teman z butuh z dan z hadir di saat itu. Z akan merasa gagal banget sebagai teman ketika z tidak bisa ada disaat mereka butuh. Kalau udah kaya gitu kejadiannya, z akan mundur. Memutuskan diri z sendiri dari teman itu, karena z tidak menyertainya disaat dia butuh.
Jadi gitu.
Itu kenapa teman z itu-itu aja. Itu kenapa kalau pulang kerja z ga ngapa-ngapain, karena teman-teman z ga disini semua. Pada jauh, jadi maintain hubungannya mesti lewat tulisan, chat atau telp. Atau dengan cara unik lainnya, share bacaan baru, share random questioner, beberapa diantaranya. Z ga punya, lebih tepatnya belum punya teman di kehidupan baru z sekarang. Buat z lingkungan kerja ya baru sebatas teman kerja. Sekali dua,hangout bareng. Belum jadi teman karena belum terlibat secara emosional. Baru sebatas fisik saja. Meskipun banyak orang diantara teman kerja z baik, tapi belum bisa dijadikan teman. Belum buka lowongan teman sepertinya 😅