Dalam 3th 2bulan pernikahan kami, 3 kali aku lihat mas menangis karena masalah. Bukan tangis bahagia seperti yang ia susut saat mendampingi aku bersalin.
Sekali saat aku tengah hamil besar, kami berencana ikut bazzar, menanam modal ditengah kondisi keungan yang pas-pasan, qadarullah covid melanda dan bazzar ditiadakan. Uang terendam, gajian masih jauh, perutku besar. Mas menangis dalam usahanya ingin mencari tambahan uang untuk persiapan si kecil lahir. Aku memeluknya, menenangkan dan berusaha tertawa. Mengatakan hal biasa awal berdagang dapat kejutan.
Kali kedua, saat gadis kecil kami menjelang 40hari. Kuterima panggilan tak terjawab hingga 72kali dari Papa. Lantas saat kutelp kembali, runtuhlah langitku saat itu. Kabar datang, aku terisak lemas. Entah mana yang perlu kuselamatkan, mental mama, fisik papa, atau harga diriku dihadapan keluarga suami, saat itu ibu mertuaku tengah bersama kami selepas aku lahiran. Semuanya hancur. Aku menangis. Mas memelukku, dia ikut menangis bersamaku.
Kali ketiga, saat shift malam, tak biasanya mas menelpon dari tempatnya bekerja. Aku melewatkan dua panggilan awalnya. Saat kujawab dengan suara serak karena terbangun dari tidur, suaranya melemah di sebrang sana. Saat kutanya kenapa dia hanya jawab tak apa. Lalu sejam setelahnya, dinihari itu dia tergesa pulang. Mengetuk jendela kamar kami dari luar. Aku tergopoh bangun. Kukira aku terlambat bangun. Saat menyalakan lampu dalam upayaku hendak melihat jam dinding, mas langsung memelukku erat. Aku bingung ditengah usaha mengumpulkan kesadaran. Lalu makin lama peluk itu disertai isak tangis. Lalu isak tangis itu berganti menjadi riak. Tangis tersedu-sedu menyayat hati. Aku mengusap punggungnya ulang berulang. Mengeratkan pelukku dalam rasa ingin tahu yang masih kupendam. Lalu mas limbung, dia terkulai di ujung kaki ku berdiri. Dan satu kalimat berikutnya yang ia ucapkan, ganti membuatku yang berdiri jadi turut lemas terkulai disampingnya. Mulailah kami saling mendekap, sibuk menyusut tangis dan ingus. Lelah menderu deru. Aku bingung. Mas limbung.
Setelahnya tak ada diantara kami yang tertidur. Malam dan pagi esoknya tak pernah lagi sama. Lusa dan seterusnya pun begitu. Kali ini, langit kami yang runtuh. Kami terseok dibawahnya. Kalau bukan karena tangis Kinasih, mungkin tak ada yang benar-benar sadar diantara kami. Karena rengekan gadis kecil itulah seolah Allah tengah mengusap pipi kami yang basah, seolah Allah membangunkan kami dari mimpi buruk yang harus kami lalui. Lewat gerak gelisah Kinasih, Allah memberi kekuatan. Barangkali ini hari yang kurang menyenangkan. Barangkali ini adalah fase kami yang kelam. Barangkali ini adalah episode kami yang tengah suram. Namun Allah telah menyiapkan sumber tenaga bagi kami untuk melewati itu. Kinasih.
Maka meski tak ada diantara kami yang tau akan bagaimana hari esok, akan bagaimana kami berjalan, apakah tertatih ataukah pincang. Kami disini, berpegang satu sama lain, dikuatkan oleh kehadiran anak gadis diantara kami. Luka ini dibalut rasa kecewa yang pekat. Meski tak tau kapan akan memudar, apakah bisa hilang dan tersembuhkan, kami berpasrah. Sementara belum bisa kami putuskan hendak berpijak dimana, di sisi ujian naik kelas atau teguran kasih sayang dari Pencipta. Tapi langkah awal telah kami tetapkan, sepekat apapun hari selanjutnya, segelap apapun dan sepanjang apapun jarak yang harus ditempuh setelah ini, kami tak berprasangka buruk pada Allah.
Bismillah ya Rabb..
Tuntun kami kembali ya Allah.