"Aku gabisa tidur seharian" kata Mas saat aku pulang kerja. Mestinya mas harus tidur, agar punya cukup tenaga untuk kerja di shift malam.
"Aku nangis seharian" jawabku menanggapi pernyataannya.
Kami hanya berdua. Aku mati-matian berusaha untuk kuat demi Mas. Sebagai sesama anak sulung, aku memahami rasa sakitnya. Sakit hingga ke tulang-tulang. Kami terbiasa keras pada diri sendiri, mengupayakan segala hal agar adik yang kami sayang tak perlu membangun semua jalannya dari awal.
Kami terbiasa mengarahkan dan cenderung memaksakan semua penyebab masalah kepada diri sendiri. Kami belokkan semua arah anak panah agar menancap dalam ke hati kami. Biar adik tak perlu merasakan hal itu. Cukup mereka tau hal-hal rasional dan logis saja. Perihal emosional, psikologis, biar hati kami yang paling dulu.
Kami selalu keras, bicara sedikit, cenderung tampak tak hangat dan tak teraih, agar seluruh rasa hangat dan kasih tumpah dan tertuju untuk adik. Biar kami yang keras, biar kami yang tegas, agar tak ada rasa lain selain cinta dan kehangatan untuk adik.
Maka saat peristiwa kali ini terjadi rasa runtuhnya aku pahami. Meski tampak fisik Mas hanya menangis di hari pertama aku tau dia yang paling hancur.
Namun kembali lagi, ketika menikah maka adiknya adalah adikku. Meski mungkin aku masih cukup kuat untuk mengusap punggung mas malam itu, tapi hari-hari berikutnya tangis ku tak kunjung selesai.
Kalaulah aku saja begini, bagaimana ibuk dan bapak?
Bagaimana dengan adik kami?