Belakangan, semenjak menulis ini di bio twitter sekitar tiga tahun yang lalu, "belajar memahami orang-orang introvert" Dia merapuh.
Dia mulai "lelah" -mari kita gunakan kata itu, karena stres terdengar terlalu menyeramkan-
Mulai menerima pertanyaan sejenis, 'udah skripsian?', 'skripsinya tentang apa?', 'kapan lulus?', 'mau magang dimana?', 'rencana kedepan mau ngapain?', dst.
Mulai memaksakan banyak tawa. Kerap kali terlihat tertawa lepas, terbahak-bahak. Terlihat menyedihkan.
Tantrum, tau?
Dia mulai meningkatkan frekuensi mendengarkan alunan yang lembut untuk meredakan tantrumnya. Ada banyak sekali kalimat yang berkeliaran di kepalanya, tapi terlalu sedikit yang mampu ia ucapkan.
Dia mulai kehilangan cara untuk berkata-kata.
Otaknya berkali-kali memerintahkan untuk berteriak, tapi syarafnya mengirim sinyal menangis. Dia lupa bagaimana caranya marah.
Dia tidak suka ditinggalkan. Sulit sendiri. Orang-orang menganggap hal itu sebagai sifat egois. Mereka lupa dia sedang mengalah. Bagi mereka itu hanya pasrah. Padahal dia belajar untuk melepaskan.
Merelakan waktu yang sedianya miliknya. Merelakan orang-orang karena tidak ingin mengekang. Dia hilang banyak. Sepi, satu-satu nya yang ia punya.
Dia terlalu lelah meminta untuk dipahami. Mungkin bahasa nya berbeda. Alien. Yang paling sebahasa sekalipun ternyata tidak mengerti.
Lalu dia diam. Menutup diri. Mengunci rapat-rapat semua jendela dan pintu. Mereka melihatnya meninggikan diri. Membangun menara gading. Luput sudah semua usaha merendah, membuka, menerima yang ulang-berulang pernah dilakukannya.
Akhirnya dia memilih tidur. Memejamkan mata. Barangkali pembuat mimpi punya skenario pegasus yang menyebarkan permen warna-warni, untuknya. Barangkali dia hanya butuh menemukan kembali Bing-Bong untuk mengantar Joy pulang. Ah, barangkali.
Dia mulai "lelah" -mari kita gunakan kata itu, karena stres terdengar terlalu menyeramkan-
Mulai menerima pertanyaan sejenis, 'udah skripsian?', 'skripsinya tentang apa?', 'kapan lulus?', 'mau magang dimana?', 'rencana kedepan mau ngapain?', dst.
Mulai memaksakan banyak tawa. Kerap kali terlihat tertawa lepas, terbahak-bahak. Terlihat menyedihkan.
Tantrum, tau?
Dia mulai meningkatkan frekuensi mendengarkan alunan yang lembut untuk meredakan tantrumnya. Ada banyak sekali kalimat yang berkeliaran di kepalanya, tapi terlalu sedikit yang mampu ia ucapkan.
Dia mulai kehilangan cara untuk berkata-kata.
Otaknya berkali-kali memerintahkan untuk berteriak, tapi syarafnya mengirim sinyal menangis. Dia lupa bagaimana caranya marah.
Dia tidak suka ditinggalkan. Sulit sendiri. Orang-orang menganggap hal itu sebagai sifat egois. Mereka lupa dia sedang mengalah. Bagi mereka itu hanya pasrah. Padahal dia belajar untuk melepaskan.
Merelakan waktu yang sedianya miliknya. Merelakan orang-orang karena tidak ingin mengekang. Dia hilang banyak. Sepi, satu-satu nya yang ia punya.
Dia terlalu lelah meminta untuk dipahami. Mungkin bahasa nya berbeda. Alien. Yang paling sebahasa sekalipun ternyata tidak mengerti.
Lalu dia diam. Menutup diri. Mengunci rapat-rapat semua jendela dan pintu. Mereka melihatnya meninggikan diri. Membangun menara gading. Luput sudah semua usaha merendah, membuka, menerima yang ulang-berulang pernah dilakukannya.
Akhirnya dia memilih tidur. Memejamkan mata. Barangkali pembuat mimpi punya skenario pegasus yang menyebarkan permen warna-warni, untuknya. Barangkali dia hanya butuh menemukan kembali Bing-Bong untuk mengantar Joy pulang. Ah, barangkali.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca ^O^