Ditengah hectic-hectic nya ngerjain quotation,
Lalu kemimpian yang menurut mama, mimpinya menunjukkan kebimbangan yang sangat,
Lalu mulai memasuki fase lelah sendiri dengan cara komunikasi ini,
Masih harus ditambah dengan kerinduan pada lingkungan ternyaman: pada Mama-Papa, Ayah-Ibu, Kak Uc-Kujit, Adek, Fik-Veggies-Gracie.
Akhirnya terlintas random thought seperti ini:
Seandainya aku dan kamu, --yang senantiasa berusaha menanggapi kalimat bersajak ku dengan kemampuanmu berkata-kata, yang jujur saja, seringpula terseok-seok karena bersikeras agar kita ada di satu frekuensi bahasa yang sama- yang bersama, saat ini, mungkin semua kalimat manisku akan berbalas. Hari-hari ku akan penuh dengan puisi. Akan sangat jarang sekali emoticon bermunculan di percakapan kita, bahkan saat aku tengah sedih atau kesalpun, tutur kata yang keluar adalah kalimat yang halus. Kamu akan memutar otak mencoba memahami arti sebenarnya dari kalimatku. Hingga kamu lelah lalu menyerah dan menanyakan langsung kepadaku. Tapi aku yakin, kamu akan selalu mengeluarkan effort lebih untuk menjadi satu frekuensi denganku terlebih dahulu. Layaknya berkomunikasi dengan anak kecil, kamu akan menurunkan banyak ego, sebanyak aku berusaha menyamai frekuensi denganmu, sebanyak itu pula, bahkan lebih, kamu menyamakan diri denganku.
Jika berkaca pada pengalaman Ibu, maka kita tampak seperti Ibu dan Om, yang dulu pernah beliau ceritakan padaku. Tapi kamu tau, Ibu dan Om pada akhirnya memilih jalannya masing-masing. Kelakar Ibu, "bayangkan jika ibu bersamanya, kapan pula ibu akan punya waktu untuk memasak, membereskan rumah, mengurus anak dan yang lainnya, jika setiap saat ibu akan terbuai oleh puisi?"
Pada akhirnya ibu memilih pada cinta yang lebih realistis. Meski entah kenapa, meski sepintas, aku merasakan ada rindu yang dalam untuk kembali menikmati masa berpuisi itu.
Melanjutkan perumpamaanku diatas, jika saat ini yang ku izinkan untuk membersamai dan mempelajari diriku adalah kamu, --yang hampir selalu meninggalkan begitu saja setiap kalimat bersajakku, mulai dari upayaku menyampaikan hal yang manis, seperti memujimu, mensyukuri hadirmu, hingga saat aku menyampaikan rasa sedih, kesal, dan frustasi- maka keputusanku, saat ini, adalah bentuk penerimaan dan rasa legowo ku pada hidup. Pada keputusan Pencipta dengan takdirNya. Meski jauh-jauh hari sebelum kita bertemu aku telah menetapkan orang seperti apa yang ku ekspektasikan dalam setiap doa, dan seiring berjalannya waktu aku menemukan banyak kerikil yang melukai pandangku tentangmu, tapi, saat ini, aku memilih untuk mengikuti jalan ini. Menyamankan ego ku agar bisa ada pada frekuensi yang sama denganmu. Lebih kepada, memberimu wewenang untuk menjadi nakhoda nya, dan aku berusaha mengikuti alur mu, sebaik yang ku mampu. Mendahulukan banyak pendapatmu, memberikan kepercayaan dan mempersiapkan diriku untuk menjadi makmum. Ah, kamu tau, seandainya dia yang kusebut pada paragraf sebelum ini atau yang lainnya pada halaman lalu membaca keberserahdirianku pada takdir seperti ini, mungkin dia akan iri. Mengingat ketika menghabiskan waktu bersamanya aku senantiasa diliputi sikap keras kepala dan ia yang selalu melunak. Lantas ketika aku mengizinkanmu untuk masuk, meski aku adalah tuan rumahnya, aku benar-benar menjamu mu sebagai tamu, menempatkanmu sebagai raja. Namun selayaknya tamu, ada batas waktu. Jika pada batas waktu itu ternyata tak kunjung ku temui kepastian selanjutnya, maka aku akan meminta mu untuk kembali pulang, atau mencari tempatmu akan berpulang. Karena tampaknya bukan rumahku yang sesuai. Pun hal nya kamu, jika selama aku menjamu, kamu dapati hal yang kurang menyamankan, ku silahkan untuk undur diri selayaknya raja yang tau sopan santun, yang datang berkabar dan pamit pun memohon diri. Jika itu kamu lakukan dengan semestinya, maka sepatutnya tidak akan ada sisa keresahan akan kisah yang belum tuntas pada halaman-halaman selanjutnya.
Jika pada akhirnya kita menjadi bersama, maka nyaris sempurnalah semua ibarat. Nyaris serupa dengan akhir kisah Ibu yang saat ini membersamai Ayah. Dengan segala sedu sedan, tangis tawa, kecewa dan marah yang mereka telan selama lebih dari seperempat abad.
Kisah ini adalah apa yang tengah terjadi saat ini. Karena satu-satu nya yang kita miliki hanyalah saat ini, sedang halaman kemarin sudah terisi, lalu halaman selanjutnya belum pasti. Aku masih yang akan membersamaimu saat ini, hingga waktunya usai. Hingga kepastian itu datang, hingga kamu yang akan menjadi yang berpulang atau menjadi bagian dari halaman ku selanjutnya. Aku tentu belum mampu dan terlalu malu untuk meneruskan pengandaian. Apakah sebagian kisah ini akan seperti rasa nya Ibu pada Ayah, atau rasa Mama pada Papa, atau Kujit pada dokter muda berlesung pipi yang pernah sepintas ia ceritakan. Atau malah tidak sama sekali, menjadi rasa kita sendiri. Menjadi rasa ku pada seseorang yang tengah singgah, lalu saat ini tengah mempertimbangkan untuk menetap, lalu (tampaknya) semoga akan mengupayakan untuk menetap.
Semoga segera menyelesaikan waktu bertamu.
jangan lama-lama jika hanya bertamu, (yang mau ber)tamu ku banyak!
Lalu kemimpian yang menurut mama, mimpinya menunjukkan kebimbangan yang sangat,
Lalu mulai memasuki fase lelah sendiri dengan cara komunikasi ini,
Masih harus ditambah dengan kerinduan pada lingkungan ternyaman: pada Mama-Papa, Ayah-Ibu, Kak Uc-Kujit, Adek, Fik-Veggies-Gracie.
Akhirnya terlintas random thought seperti ini:
Seandainya aku dan kamu, --yang senantiasa berusaha menanggapi kalimat bersajak ku dengan kemampuanmu berkata-kata, yang jujur saja, seringpula terseok-seok karena bersikeras agar kita ada di satu frekuensi bahasa yang sama- yang bersama, saat ini, mungkin semua kalimat manisku akan berbalas. Hari-hari ku akan penuh dengan puisi. Akan sangat jarang sekali emoticon bermunculan di percakapan kita, bahkan saat aku tengah sedih atau kesalpun, tutur kata yang keluar adalah kalimat yang halus. Kamu akan memutar otak mencoba memahami arti sebenarnya dari kalimatku. Hingga kamu lelah lalu menyerah dan menanyakan langsung kepadaku. Tapi aku yakin, kamu akan selalu mengeluarkan effort lebih untuk menjadi satu frekuensi denganku terlebih dahulu. Layaknya berkomunikasi dengan anak kecil, kamu akan menurunkan banyak ego, sebanyak aku berusaha menyamai frekuensi denganmu, sebanyak itu pula, bahkan lebih, kamu menyamakan diri denganku.
Jika berkaca pada pengalaman Ibu, maka kita tampak seperti Ibu dan Om, yang dulu pernah beliau ceritakan padaku. Tapi kamu tau, Ibu dan Om pada akhirnya memilih jalannya masing-masing. Kelakar Ibu, "bayangkan jika ibu bersamanya, kapan pula ibu akan punya waktu untuk memasak, membereskan rumah, mengurus anak dan yang lainnya, jika setiap saat ibu akan terbuai oleh puisi?"
Pada akhirnya ibu memilih pada cinta yang lebih realistis. Meski entah kenapa, meski sepintas, aku merasakan ada rindu yang dalam untuk kembali menikmati masa berpuisi itu.
Melanjutkan perumpamaanku diatas, jika saat ini yang ku izinkan untuk membersamai dan mempelajari diriku adalah kamu, --yang hampir selalu meninggalkan begitu saja setiap kalimat bersajakku, mulai dari upayaku menyampaikan hal yang manis, seperti memujimu, mensyukuri hadirmu, hingga saat aku menyampaikan rasa sedih, kesal, dan frustasi- maka keputusanku, saat ini, adalah bentuk penerimaan dan rasa legowo ku pada hidup. Pada keputusan Pencipta dengan takdirNya. Meski jauh-jauh hari sebelum kita bertemu aku telah menetapkan orang seperti apa yang ku ekspektasikan dalam setiap doa, dan seiring berjalannya waktu aku menemukan banyak kerikil yang melukai pandangku tentangmu, tapi, saat ini, aku memilih untuk mengikuti jalan ini. Menyamankan ego ku agar bisa ada pada frekuensi yang sama denganmu. Lebih kepada, memberimu wewenang untuk menjadi nakhoda nya, dan aku berusaha mengikuti alur mu, sebaik yang ku mampu. Mendahulukan banyak pendapatmu, memberikan kepercayaan dan mempersiapkan diriku untuk menjadi makmum. Ah, kamu tau, seandainya dia yang kusebut pada paragraf sebelum ini atau yang lainnya pada halaman lalu membaca keberserahdirianku pada takdir seperti ini, mungkin dia akan iri. Mengingat ketika menghabiskan waktu bersamanya aku senantiasa diliputi sikap keras kepala dan ia yang selalu melunak. Lantas ketika aku mengizinkanmu untuk masuk, meski aku adalah tuan rumahnya, aku benar-benar menjamu mu sebagai tamu, menempatkanmu sebagai raja. Namun selayaknya tamu, ada batas waktu. Jika pada batas waktu itu ternyata tak kunjung ku temui kepastian selanjutnya, maka aku akan meminta mu untuk kembali pulang, atau mencari tempatmu akan berpulang. Karena tampaknya bukan rumahku yang sesuai. Pun hal nya kamu, jika selama aku menjamu, kamu dapati hal yang kurang menyamankan, ku silahkan untuk undur diri selayaknya raja yang tau sopan santun, yang datang berkabar dan pamit pun memohon diri. Jika itu kamu lakukan dengan semestinya, maka sepatutnya tidak akan ada sisa keresahan akan kisah yang belum tuntas pada halaman-halaman selanjutnya.
Jika pada akhirnya kita menjadi bersama, maka nyaris sempurnalah semua ibarat. Nyaris serupa dengan akhir kisah Ibu yang saat ini membersamai Ayah. Dengan segala sedu sedan, tangis tawa, kecewa dan marah yang mereka telan selama lebih dari seperempat abad.
Kisah ini adalah apa yang tengah terjadi saat ini. Karena satu-satu nya yang kita miliki hanyalah saat ini, sedang halaman kemarin sudah terisi, lalu halaman selanjutnya belum pasti. Aku masih yang akan membersamaimu saat ini, hingga waktunya usai. Hingga kepastian itu datang, hingga kamu yang akan menjadi yang berpulang atau menjadi bagian dari halaman ku selanjutnya. Aku tentu belum mampu dan terlalu malu untuk meneruskan pengandaian. Apakah sebagian kisah ini akan seperti rasa nya Ibu pada Ayah, atau rasa Mama pada Papa, atau Kujit pada dokter muda berlesung pipi yang pernah sepintas ia ceritakan. Atau malah tidak sama sekali, menjadi rasa kita sendiri. Menjadi rasa ku pada seseorang yang tengah singgah, lalu saat ini tengah mempertimbangkan untuk menetap, lalu (tampaknya) semoga akan mengupayakan untuk menetap.
Semoga segera menyelesaikan waktu bertamu.
jangan lama-lama jika hanya bertamu, (yang mau ber)tamu ku banyak!
Komentar
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca ^O^