Tau kenapa aku sangat menikmati waktu sendiri? Benar-benar sendiri, meski tidak melakukan apapun, atau sekedar nonton tv, baca novel atau diam merenung dikamar. Asalkan tidak harus beramah tamah atau bersosialisasi dengan orang lain?
Sederhana: karena semakin banyak berinteraksi dengan orang lain, maka semakin banyak aku terluka.
Terdengar frustasi sekali ya? Terdengar lebay. Tapi percayalah, aku sudah terlalu sering dikecewakan setiap kali berusaha membuka diri untuk bersosialisasi dan beramah tamah dengan orang lain diluar waktu reguler, diluar jam kerja atau waktu yang mengharuskan aku untuk bersosialisasi. Pada saat seperti itu aku merasa perlu menafsirkan ulang pengertian teman dan kenalan.
Contoh konkrit nya, ketika aku sakit, hingga benar-benar tidak bisa bangkit dari tempat tidur, tidak ada yang mau ikut bersusah payah untuk mengulurkan tangan sekedar membantu mengambilkan minum. Inisiatif? Apa itu? Kurasa tidak lebih dari harapan saja. Berharap teman sekitar akan menunggui sejenak, menawarkan diri mengantarkan ke dokter, menawarkan membantu mencarikan makanan atau obat, atau membantu mengompres panas ku yang saat itu tinggi. Dan nihil.
Hanya karena sebelumnya aku terlihat baik-baik saja lalu mendadak sakit beberapa jam sebelum acara buka bersama kita, maka aku diperlakukan seolah membual tentang sakit itu. Padahal untuk apa membual, toh aku pun sangat ingin makan disana, dengan atau tanpa janjian buka bersama. Lalu, pada akhirnya semua pergi. Aku merasa hari itu adalah hari yang paling menyedihkan.
Aku demam.
Bagi sebagian besar orang, demam hanya sebatas suhu badan meninggi. Bukan sakit serius. Tapi aku tidak termasuk dalam sebagian besar orang itu. Bagiku demam adalah sakit yang sulit. Coba bayangkan 'hanya demam' saja mampu membuat ku tidak bisa berdiri, seolah sekejap saja berdiri atau 'kalah' menutup mata, maka entah apa aku masih dalam kondisi sadar atau tidak. Ketika, jangankan makanan, minum air putih pun, mampu membuat ku muntah banyak. Lebay? I dont care, orang boleh bilang itu lebay sampai akhirnya mereka merasakan bagaimana sakit, tidak bisa bangkit, dan kamu sendirian. Sepercik bumbu tidak menyenangkan lainnya, yang terdekat pun sama pemikirannya. Menganggap apa yang ku alami tidak mungkin separah yang terucap. Meski sepintas, saat aku melihat deret kartu UNO dipostingan mutual friend kita, aku sedih. Lalu kembali mengumpulkan alasan logis lainnya, seperti: ya what can he do even if he know that you are sick? Toh dia pun belum ada keharusan atau kewajiban untuk sepenuhnya bertanggungjawab atas dirimu kan? Dan sikapnya untuk tidak memposting apapun acara nya senja itu mestinya cukup untuk membuatmu sadar kalau dia pun berusaha tenggang rasa. Perihal you found out from your friend mah beda soal.
Ku akui aku tidak paham tentang sakit ini. Sakit yang masa kritisnya hanya berlangsung selama satu hari saja, esoknya saat aku mulai membaik dan cukup kuat untuk memeriksakan diri, dokter hanya mengatakan ini infeksi virus. Suhu badan yang mendadak tinggi, hingga seluruh otot dan persendian sakit adalah efek dari virus yang bisa jadi tidak sengaja tertular lewat udara ketika imun ku sedang lemah.
Cerita lainnya saat dimana aku memang 'dituntut' untuk berinteraksi dengan oranglain. Lalu, aku lupa bagaimana fungsi sebuah sistem ini harus dijalankan, karena jarang sekali digunakan. Aku telah bertanya dengan baik. Alih-alih dijawab, malah didiamkan saja seperti tidak peduli. Masih mencoba berprasangka baik, mungkin dia ingin aku mencari sendiri lewat catatan atau trial and error, atau mungkin dia tidak dengar, atau malas menanggapi karena tengah sibuk dengan game di tangan nya. Maka aku memutuskan membongkar semua catatan, trial and error, lalu bertanya pada yang lain. Apa yang aku dapat? Selain refresh ilmu lama yang mulai terlupakan, memfilter teman pun adalah bonus lainnya. Orang lain bebas menjudge aku baperan atau lainnya. Aku tidak peduli. Karena menurutku, sebelum menjudge orang lain, coba lihat dulu bagaimana dirimu sendiri.
Berlaku pula untuk diri ku sendiri. Meski sangat menikmati waktu sendiri tanpa perlu diribetkan dengan hal-hal ramah tamah, ketika aku tengah bersosialisasi aku berusaha maksimal untuk menghadirkan diriku seutuhnya. Mengulurkan tangan dan bersikap hangat pada siapapun. Aku benci orang-orang fake, yang memilih berinteraksi tapi hanya basa basi. Tidak ada sepenuhnya. Hanya ada jika posisinya menguntungkan. Semoga aku terhindar dari sikap fake seperti itu. Aku yakin kebaikan itu akan kembali entah dalam bentuk apa dan bagaimanapun caranya. Tidak harus kembali lewat orang yang sama yang diberi kebaikan. Tidak pula mesti datang karena aku melakukan kebaikan. Semesta ini begitu kompleks, bisa jadi dipertemukan dengan orang orang baik adalah akibat dari doa orangtua, bisa pula merupakan sentilan dari yang Kuasa, ah barangkali kamu lupa sudah terlalu renggang jarakmu dengan Pencipta. Lalu disadarkan dengan kebaikan yang tak henti diberi, agar kamu paham, sebaik-baiknya pemberi adalah Khaliq. Jauh saja kamu dijaga, apalagi dekat. Namun jangan sampai istidraj, semoga kita dijaga dalam kesadaran yang penuh bahwa kita lemah dan butuh pertolongan. Dan sebaik-baiknya pertolongan adalah pertolongan Allah.
Terakhir, aku selalu yakin ketika aku mampu melewati sebuah masalah, maka esok lusa aku tidak lagi sama. Aku akan menjadi sosok yang lebih tangguh dan lebih mandiri. Dunia tidak melulu butuh orang orang cengeng nan lemah.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca ^O^