Bulan Purnama (kupu-kupu dalam perut)
sebuah
cerpen
Ada banyak hal yang
ingin aku sampaikan, kepadamu pantai di empat purnama lautku. Ingin menanyakan
kabar, sedang apa, apa yang kamu pikirkan dan seterusnya. Namun seringkali saat
waktu mengizinkan kita bersisian semua kalimat itu retas bermain dengan jarum
jam.
Jangan tanya
kenapa.
Haruskah aku mulai
dengan tanya, "haruskah kita selesai?" yang sayangnya
selalu berhasil kamu jegal disetiap kesempatan.
Dan selanjutnya
jeda waktu diambil alih oleh denting sendok yang terus aku putarkan, mengitari
gelas dengan tiga per empat moccachino larut di dalamnya. Kamu mengimbangi
irama dengan ketukan jari di gadget, selalu seperti itu. Disibukkan dengan
banyak pesan yang harus kamu respon. Paling tidak kita mengerti ada yang risau.
Aku dengan tanyaku dan kamu dengan putusanmu.
"sering ngopi
disini Lan?" tanyamu
berusaha memecah jeda hening di meja kita.
Aku mengitari
ruangan ini dengan pandangan lekat. Membaca setiap bingkai tulisan yang
terpajang di dinding. Menatap bartender yang tengah membersihkan pantry.
"nggak juga,
Aku gak terlalu suka ngopi. Ini kedua kalinya. Pertama bareng Nindya dan
sekarang bareng Una." Aku menyahut, menatap wajahmu dan tersenyum. Memaksakan
senyum lebih tepatnya.
Kamu tampak
mengerutkan dahi. Sepintas alis hitam itu bertaut, aku menikmati sepersekian
detik menatap wajah bulat telur dengan mata coklat terang yang tajam, cenderung
sinis sebenarnya jika tidak sedang tersenyum. "terus kenapa ngajak ketemu disini kalau Lan gak suka
ngopi?"
"bukannya
Una suka ngopi?"
"iya sih, tapi
kalau kamu gak suka kan gak harus ketemu disini. Daripada ntar Lan gak habis
lagi makanannya."
Aku tertawa tipis.
Teringat seringkali tidak menghabiskan makanan saat kita melewatkan waktu
bersama. Bukan karena aku tidak suka makanannya, tapi saat kita bersama secara
tiba-tiba, entah dari mana asalnya puluhan kupu-kupu menari dalam perutku. "Aku
ngopi kok sesekali. Kalau lagi kacau. Lagian aku suka disini. Tempatnya tenang,
mudah dijangkau, jadi Una gak susah nyari tempatnya. Waffle sama cupcakes nya
juga enak." ceracauku sambil terus melayangkan pandang ke dinding kaca
yang mengarah ke jalan. Sibuk memperhatikan orang lalu-lalang. Sikap lain dari
menghindari menatap sosok dihadapanku.
"ngeliatin apa
sih?"
protesmu sambil terus menatap lekat kearahku. Aku mengerti kamu tengah memaksa
untuk fokus.
"gak ada"
sahutku
lebih serupa berbicara pada diri sendiri.
"Lan, kenapa?
Ceritalah, mungkin Na bisa bantu. Paling nggak Lan jadi lebih ringan perasaannya."
Aku balas menatapmu
sejenak, lantas menghela napas dalam. Apa kamu mengerti kamu yang membuat
kekacauan? Ingin sekali rasanya mengucapkan kalimat itu. Dan kalimat
seterusnya.
Semua yang kamu lakukan,
entah itu dengan sikap manis atau cuek, semuanya menyebabkan kekacauan. Aku
tidak habis pikir kenapa harus ada kaki yang menjegal setiap kalimat yang ingin
aku keluarkan. Aku ingin mengucapkan banyak hal Una. Banyak sekali. Semuanya
telah menjadi sebuah tumpukan yang kian meninggi dari hari ke hari.
Aku memalingkan
wajah, tertarik pada lukisan awan senja yang menggantung manis tepat pada
dinding dibelakangmu. Terlintas saat pertama kali drama ini dimulai. Saat itu
awan senja, bukan? Disesaki gumpalan kelam yang tidak lama setelahnya
menurunkan hujan melimpah. Aku suka hujan, semoga kamu tau itu. Dan saat hujan
turun untuk pertama kalinya dimusim itu, ia membuat kita terjebak di satu
tempat yang sama, tidak ada yang bisa pulang karena air dijalan mulai
menggenang banyak dan tanpa payung, tas dengan beragam tumpukan materi dan soal
persiapan ujian ini pasti akan basah sepenuhnya. Aku melenguh panjang-pendek.
Hari itu pertama kali kita kenal, diperkenalkan lebih tepatnya. Dengan senyum
simpul kamu urung memasukkan buku tebal kumpulan soal lantas dengan ringannya
berkata, "gimana kalau kita lanjut bahas soal lagi?"
Kalimat itu seperti sihir. Tanpa perlu diucapkan dua kali berhasil
membuatku mengambil tempat duduk dihadapanmu, membantumu membahas soal untuk
materi jurusan yang aku ambil. Sejak hari itu, esok lusa dan seterusnya kita
banyak menghabiskan waktu membahas soal yang sama. Pun sejak hari itu puluhan
kupu-kupu hinggap. Kemudian datang waktunya kita dipertemuan pada masa
pengujian tentang apa yang telah kita pelajari.
Mentari yang berganti dari pagi ke pagi membawa sebuah keputusan untuk
kita, aku lolos melanjutkan mimpi sesuai dengan rencana awal dan kamu diberi
kesempatan untuk mengerjakan mimpi baru. Kita terpisah puluhan mil tidak kurang
dari dua puluh empat purnama. Hanya saja sejak saat itu, puluhan kupu-kupu
tertidur tidak lantas pergi atau mati. Lelah terperangkap dan kini mereka
terjaga dengan ratusan kepompong baru. Mengertikah?
Kamu paham kita
sudah melalui ini dari waktu ke waktu. Tapi semuanya menjadi sangat aneh. Aku
pikir sudah lebih dari cukup banyak usaha yang aku lakukan agar ini bisa
menjadi lebih baik. Menceritakan banyak hal, memperkenalkanmu dengan duniaku,
berusaha membuat kamu lebih dekat dengan orang-orang yang aku sayang dan
seterusnya. Tapi tidak ada yang berubah. Semakin kamu dekat maka semakin jauh
jarak yang ada. Apa yang salah Una? Apa kamu tau jawabnya? Sudahkah kamu
melihat kembali tempatmu berpijak di awal? Adakah kamu menyadari tengah
melakukan pelarian?
Jangan balikkan
tanya padaku. Karena untukku tidak ada yang berubah dari awal, lebih dari dua
tahun yang lalu. Semuanya masih sama, utuh. Bahkan kupu-kupu itu yang dulunya
tertidur telah menetaskan ratusan kepompong baru yang sudah siap mengepakkan
sayap pula. Hanya saja aku cukup mengerti, aku tidak bisa memaksakannya sendiri,
bukan?
Aku bahkan telah
membersihkan jalanmu. Memperjelas ini. Jangan ragu. Aku punya hak untuk menyukai apa yang aku
suka dan kamu punya hak untuk tidak menyukai apa yang tidak kamu suka. Bukankah
itu seperti melihat satu hal yang sama dari dua sisi yang berbeda?
"hello,
Lan.." pelan
kamu melambaikan tangan di depanku. Membuyarkan semua kalimat yang ingin aku
ucapkan. Sekali lagi, kamu menjegalnya.
"hmm" aku bergumam
pendek.
"kenapa sih
dari tadi ngelamun terus. Mau ke Gramedia sekarang gak, tuh hujannya
reda."
Aku heran, menatap
tetes air menggantung pada kusen luar jendela. Pertanyaannya adalah sejak kapan
hujan dan kenapa sudah reda?
Pelan kamu membuat
jemari kita bertaut.
"apa aku
terlihat sangat kacau?" tanyaku lirih.
"apa ada yang
harus kita selesaikan?" jawabmu melempar tanya kembali. Menatap
tenang.
"haruskah kita
selesai?"
ujarku berpacu pada waktu. Menghitung berapa detik lagi jemari kita bertaut.
Kamu diam dan
melepaskan. Kali ini terlihat enggan untuk menahan. Memilih menyandarkan punggung
pada bantalan kursi, membuang pandang menatap orang lalu-lalang. Aku telah
mendapatkan jawabannya.
Seterusnya sejak
detik itu, aku mengizinkan waktu, detak jarum jam dan suara halus blender dari pantry
mengisi jarak yang sangat jauh diantara gelas kopi kita. Membuat tidur matahari
siang hingga menyelimutkan mega merah di horison. Berterimakasih, paling tidak
ada gurat bulan purnama di langit sore ini, menjelang malam. Ah ya, satu lagi.
Aku pikir sudah tiba saatnya melepaskan ratusan kupu-kupu itu. Kupu-kupu yang
tak kunjung pergi hingga detik aku menulis ini sampai di titik.
ngerti banget.... :')
BalasHapushhaha kamu selalu mengerti banyak hal dek. ini hanya sebuah cerpen~
Hapus