Bocah : "ini bukan ekor layangan" |
Pagi yang cerah, matahari bersinar, cucian menumpuk, sekarang hari Senin dan aku masih selimutan di kasur bersama doci dan minji. Lagi sakit (lagi).
Sedikit tentang perjalanan buang sial.
Sebenernya kita beelima ngerencanain perjalanan ini dari semester empat, tapi gagal karena banyak kendala. Lalu rencana ini gak pernah tersentuh, sampai suatu senja di awal semester enam tiba-tiba terlintas,
"Hari Senin kan kita kosong, Sabtu cuma Eta sama Asangki kelas Akfor. Ya udahlah jadiin Jogja!"
Aku sama Eta toss bareng, langsung meluncurkan rencana ke bocah dan dia setuju. Udah tiga orang. Kendala tersulit kita adalah Debo. Terakhir aku nelpon Asangki yang masih di Cimahi,
"Ki, kita mau ke Jogja. Berangkat tgl 6, balik tgl 9. Gue, Eta, Bocah udah bisa nih. Lo ikut ga?"
"Ya ikut lah!"
Yup! Empat orang. Tinggal satu lagi.
Debo. Dia mau ikut tapi pertengahan April. Buat Debo, rencana h-21 itu terlalu mendadak, terlebih setelah kkn dia terkuras banyak. Aku menghubungi Asangki dan Eta menghubungi Arin, hingga kami tiba pada satu kesepakatan,
"Deb, tanya nyokap boleh apa ngga pergi ke Jogja. Masalah uang kita beresin rame-rame. Yang penting bisa pergi limaan, kita gatau kapan punya waktu lagi Deb"
Begitulah. Masalah awal terselesaikan. Fix pergi berlima.
Buat aku ini adalah perjalanan buang sial.
Buat Debo ini perjalanan kabur dan mencari diri nya yang utuh setelah badai perasaan menerjang.
Buat Eta ini perjalanan melihat Jogja untuk pertama kali nya.
Buat Asangki ini liburan.
Buat Ain bocah, ini sekedar pulang kerumah, nginep gak dirumah, terus main ke Jogja.
Satu Jogja, lima perkara.
Urusan transportasi, bagian bocah. Tiga hari setelah semua memutuskan pergi, dia, Asangki dan Eta ke stasiun beli tiket Bandung-Purworejo dan Jogja-Bandung untuk lima orang. Total sepuluh tiket yang di print, dan kalau kata bocah,
"Ini bukan ekor layangan" (sambil motoin cetakan tiket yang panjang)Urusan makan kita pasrahkan pada angkringan sepanjang jalan.
Yang lain? Ibu Sujadi (Ibuk nya bocah) dengan senang hati dan was-was memberikan sangat amat banyak bantuan agar kami aman selama menyelesaikan perkara masing-masing.
Semua terlihat lancar sampai h-7 mama nelpon dan bilang papa tiba-tiba berubah pikiran. Papa gak ngasih izin buat pergi. Alasan papa, beliau takut Z kenapa-kenapa. Banyak kecelakaan, perampokan dsb. Buat papa, tidak ada satupun tempat di bumi yang cukup aman selain rumah. Z pasrah, setelah ngebujuk dan penuh negosiasi, ditambah rengekan, papa ngasih izin pergi, bersyarat:
Gak boleh main sama laki-laki, harus angkat telpon kapanpun, dan gak boleh sakit.Problem solved!
H-4 keberangkatan, Z sakit.
Papa mama belum tau.
Semoga lekas sehat sebelum pergi.