I (satu)
Ratih : Kau siapa? Meneliti anggun dalam diam. Kau kira Aku apa? Kepompong mati
di sarang burung? Bahkan jika aku kepompong yang nyaris mati di sarang burung
Kau tidak lantas seinci lebih baik dari Aku, karena Kau tak lebih dari bau
bangkai tikus mati! Tentu, banyak orang berlalu lalang sadar akan hadirmu,
mencium bau busuk. Tapi tak akan ada yang sudi menyeret langkah meski hanya
sejengkal mendekatimu.
Dewa : Aku? Bau bangkai tikus mati? Cih! Apa Kau bilang tadi? Tak ada satu
orang pun yang sudi mendekatiku? Bodoh. Kau pikir bagaimana menyingkirkan bau
ku kalaulah tidak dengan mendekati aku? Mereka justru harus mendekatiku,
berlutut, pelan penuh kehati-hatian agar tidak setitik pun darah tikus mati
mengenai lengan baju mereka. Kau tau, bahkan hanya untuk sekedar menyingkirkan
bau busuk, mereka, orang-orang berpantofel, mengenakan tuksedo rela bersusah payah mendekati aku. Sementara Kau? Apa?
Kau hanyalah kepompong mati di sarang burung. Tak pernah menjadi hal penting
bagi orang lain. Kau yang terus sibuk pamer pada dunia, membual akan
warna-warni sayap, membual akan nektar bunga negri dongeng yang Kau hirup,
tentang angin, awan-awan dan langit luas yang pernah Kau jelajah. Kau lupa, Kau
mati. Di sarang burung. Bahkan anak burung pun tak akan sudi disuapkan induknya
bangkai tubuhmu. Kau lupa. Kau mati. Telah mati. Kau lupa, kita selesai! Sama-sama
mati.
***
Tepuk tangan
mengiringi tirai panjang yang menutup panggung pementasan drama. Riuh rendah
decak kagum penonton naik ke udara, puas menyaksikan penampilan satu jam
tersebut. Satu persatu pemain drama bersorak lega. Setelah sibuk berlatih
selama dua bulan akhirnya pementasan mereka berjalan lancar. Pun tiket terjual
habis. Terbayar sudah semua pengorbanan.
“Selamat guys! Kerja keras kalian gak sia-sia. Tadi
penampilan yang sempurna gak terkecuali masalah hak sepatu Indri yang patah
ditengah panggung, itu improvisasi yang luar biasa” Sandri, ketua pelaksana
sekaligus sutradara pementasan membuka acara makan-makan malam itu dengan
guyonan garingnya. Indri, korban celetukan cuma bisa senyum-senyum sinis
mengingat kejadian konyol tadi siang.
“Untungnya
Rian cekatan. Langsung bisa ngikutin improvisasinya Indri. Kalau nggak, bisa
jatuh memalukan tuh. Kalau jatuh sakitnya sih gak seberapa, malu nya itu loh,
mau dibawa kemana?” Diana akhirnya berhasil membuat suasana kafe malam itu jadi
semakin semarak dengan gelak tawa. Rian, yang memerankan tokoh Dewa hanya
senyum simpul saja sesekali melirik Indri yang wajahnya merah menahan malu.
Tiba-tiba
dengan spontan duo kembar Juni-Juna menggeser kursi mereka, mengambil posisi
yang pas di pojok kanan meja makan.
“Seharusnya
tuh ya, improvisasi yang benar gini. Biar lebih seru,” Juna mengambil alih
perhatian di ruangan 7x9 meter itu.
“Kau lupa. Kau
mati di sarang burung” Juni berjalan memutar mengelilingi Juna yang kemudian
berpura-pura jatuh karena hak sepatunya patah. Juni dengan sigap menahan lengan
Juna tanpa membelakangi meja makan kemudian melanjutkan kalimatnya,
“Bahkan meski
anak burung pun tak sudi disuapkan bangkai tubuhmu, ada Aku yang setidaknya
sanggup menyambutmu” lantas mengedipkan
sebelah matanya pada Juna. Kontan saja seisi ruangan jadi tergelak melihat
pertunjukan ulang Juna-Juni yang kocak. Tak terkecuali Rian, terpingkal sampai
batuk karena terlalu bersemangat tertawa. Demi melihat ekspresi wajah Indri
yang sudah semerah jus tomat, Siska ketua tim desain dan properti sekaligus
yang paling senior diantara anggota klub drama yang lain menengahi pembicaraan
itu,
“Udah, kasian
tuh Indri. Lagian ini juga salah gue kok, gak ngecek ulang semua properti. Maaf
banget ya Ndri. Makasih banget loh Ryan. Sumpah, akting kalian berdua bagus
banget. Bisa kompak dan saling mengisi, jadi gak keliatan kalau itu kejadian
yang gak sengaja. Beneran natural lah. Two thumbs up dear!” Siska menyudahi
kalimatnya, mengacungkan dua jempol sambil melirik galak ke arah Juna dan Juni.
Keduanya mengerti dan memilih langsung duduk kembali daripada disuruh membayar
semua makan malam saat itu sebagai hukuman lelucon mereka.
Drrtt..ddrrtt...
Rian melirik
sekilas hp nya yang menunjukkan panggilan masuk dari kakaknya lantas mengisyaratkan
permisi menerima telpon kemudian berjalan ke toilet karena ruangan itu begitu
berisik.
“Halo? Kenapa Lan?”
“...”
“halo? Lan..”
Rian yang tidak
mendengar jawaban apapun dari seberang telpon mendadak panik karena mendengar
suara tangis tertahan.
“Lan kenapa? Lo
dimana? Halo?? Bulan! Mbak, lo dimana? ”
“ aa..akku ddi
rumah” Bulan menjawab terbata-bata.
Rian bergegas
kembali ke meja makan, mengambil tas dan kunci mobil lantas berlari keluar
kafe.
“Rian! Lo kemana?”
Sandri berteriak bingung melihat sikap Rian dari dalam kafe. Ia tak sempat
mengejar Rian yang sudah duluan ke parkiran mobil. Sejenak semua anggota klub
drama hening, ikut bingung dengan sikap Rian. Bertanya-tanya apa lelucon mereka
keterlaluan. Sandri yang menyadari hal itu berusaha membuat suasana ruangan
kembali nyaman, meminta teman-teman melanjutkan makan sementara ia berusaha
menghubungi ponsel Rian. Meskipun suasana ruangan kembali dipenuhi dengan
lelucon garing Juna-Juni dan denting sendok, ada dua pasang mata yang gelisah. Sibuk
menerka apa yang terjadi. Dua pasang mata itu, Diana dan Indri.
-to be cont-
Komentar
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca ^O^